Artikel di bawah ini ditulis oleh pendiri IFR di situs Jurnalisme Warga Kompasaina. Semoga bermanfaat, berikut petikannya:

Catatan ringan, ‘oleh-oleh’ hasil mengikuti Training Mediator Bersertifikat MA di Yogyakarta 9-12 September 2015

————————

Alkisah seorang advokat senior yang sudah malang melintang 30 tahun menjalankan praktik advokat, pergi berlibur ke negeri paman sam selama 3 bulan. Selama pergi berlibur, sang advokat senior menunjuk anaknya yang juga seorang advokat untuk memimpin dan mengurus kantor advokatnya agar tetap berjalan normal seperti biasa. Ketika sang advokat senior pulang berlibur, sang anak pun melaporkan segala hal yang terjadi saat ayahnya pergi berlibur.

“Ayah, ananda mau lapor… sepertinya ayah harus bangga sama ananda. Karena kasus sengketa antara perusahaan A dengan perusahaan B sudah berhasil ananda damaikan, padahal kasus itu sudah hampir 15 tahun tak kunjung selesai ayah tangani,” demikian sang anak melapor. Sang ayah kaget bukan kepalang. “Aduh nak… Karena kasus itu kamu bisa kuliah di luar negeri. Karena kasus itu ayah bisa libur 3 bulan di negeri paman sam,” kata sang ayah dengan muram.

***

Kisah di atas tentu bukan cerita sebenarnya, kisah tersebut hanya cerita satire yang masyhur untuk mengingatkan bahwa advokat merupakan profesi yang punya potensi kepentingan agar suatu sengketa hukum itu tetap eksis dan tak perlu didamaikan atau diselesaikan secara permanen, karena dapat mendatangkan manfaat ekonomi secara sustainable. Cerita satire ini disampaikan oleh seorang advokat senior dalam kegiatan training manajemen kantor advokat yang penulis ikuti.

Cerita di atas sesungguhnya mengandung ungkapan sindiran bahwa seorang advokat merupakan profesi yang punya kepentingan agar suatu sengketa hukum itu tetap eksis dan tak perlu didamaikan secara permanen, karena ia bisa mendatangkan manfaat ekonomi secara sustainable.

Cerita satire semacam di atas ini barangkali telah yang menyebabkan banyak pihak memandang dan menilai bahwa advokat sulit diharapkan memiliki peran yang kontributif dalam menyelesaikan sengketa kliennya melalui sarana mediasi di dalam pengadilan. Akibat prasangka demikian, peran seorang advokat seringkali dipinggirkan dalam proses mediasi, bahkan lebih ektrim lagi, kehadiran advokat dalam proses mediasi sering ditolak baik untuk mewakili kepentingan kliennya maupun sekedar untuk mendampingi.

Apakah prejudice tersebut memang benar demikian adanya? Apakah benar advokat tidak punya kontribusi mendorong bagi para pihak bersengketa dalam membuat kesepakatan damai mengakhiri sengketa? Lalu bagaimana sesungguhnya kontribusi positif yang dapat diperankan oleh advokat dalam proses mediasi di pengadilan?

Mediasi: Cara Cepat dan Murah Akhiri dan Selesaikan Sengketa

Mediasi menurut pasal 1 angka 1 Peraturan Mahkamah Agung No. 1 Tahun 2008 Tentang Prosedur Mediasi di Pengadilan (“Perma No.1/2008”) adalah cara penyelesaian sengketa melalui proses perundingan untuk memperoleh kesepakatan para pihak dengan dibantu oleh mediator. Penyelesaian dengan mediasi menjadikan suatu sengketa diselesaikan secara cepat dan murah, serta memberikan akses yang lebih besar bagi para pihak menemukan penyelesaian yang memuaskan dan memenuhi rasa keadilan.

Proses mediasi di dalam pengadilan merupakan proses yang wajib diikuti oleh semua pihak, termasuk hakim, mediator dan para pihak. Sifat wajibnya sangat serius. Karena apabila dilanggar maka akan berakibat putusan pengadilan batal demi hukum.

Ditetapkannya mediasi sebagai proses yang wajib diikuti oleh semua pihak, merupakan jawaban atas kritik terhadap penyelesaian sengketa melalui proses peradilan, di antaranya: (1) Lamanya penyelesaian perkara oleh pengadilan yang bisa memakan waktu hingga 5-15 tahun, (2) biaya perkara mahal, (3) pengadilan tidak tanggap, (4) putusan pengadilan tidak menyelesaikan masalah atau menimbulkan masalah baru, (5) putusan pengadilan tidak memberi kepastian hukum, dan (6) kemampuan para hakim bercorak generalis.[1]

Menurut advokat dan mediator senior di Yogyakarta, sebagaimana disampaikan dalam materi presentasinya (slide), menyatakan bahwa hukum acara mediasi di pengadilan bersifat semi formal.[2] Hal tersebut menurut penulis ada benarnya, sebab untuk mencapai maksud dan tujuan dari mediasi di pengadilan dengan sukses menyelesaikan sengketa, maka hukum acara mediasi di pengadilan perlu bersifat semi-formal. Artinya hukum acaranya jelas dan tegas secara teratur, namun tetap membutuhkan sifat fleksibilitas dan informalitas dalam implementasi, sepanjang proses mediasi dapat menuju ke jalan ‘shiratul mustaqim’ menuju kesepakatan yang damai abadi di antara para pihak untuk menyelesaikan dan mengakhiri sengketa.

Kehadiran Advokat dalam Mediasi Di Pengadilan

Adapun dalam implementasinya, ternyata ada sebagian pihak yang menerapkan hukum acara mediasi dalam PERMA secara tidak sempurna. Yaitu tidak menyukai kehadiran pihak advokat mewakili atau mendampingi kliennya dalam proses mediasi. Hal ini seringkali terjadi. Sehingga akhirnya menjadi suatu ‘hukum kebiasaan’ untuk menetapkan suatu mediasi dianggap gagal apabila pihak prinsipal dari para pihak (orang yang berperkara langsung) tidak hadir sendiri dalam proses mediasi, meskipun pihak prinsipal telah menunjuk kuasa atau wakilnya untuk hadir mewakili kepentingannya.

Ada pihak yang berpendapat bahwa kehadiran para pihak prinsipal dalam mediasi adalah penting dan kunci kesuksesan suatu mediasi dapat tercapai kesepakatan. Sehingga bilamana para pihak prinsipal tidak mampu untuk hadir di dalam mediasi, maka proses mediasi segera harus dinyatakan gagal untuk dilaksanakan tanpa perlu ‘berlama-lama’, meskipun para pihak prinsipal tersebut telah menunjuk kuasa / wakilnya untuk hadir.

Sampai disini maka timbul pertanyaan susulan. Apakah benar PERMA mewajibkan pihak prinsipal hadir secara langsung dalam proses mediasi? Apakah benar mediasi dinyatakan gagal apabila pihak prinsipal tidak hadir meski sudah menunjuk kuasa / wakilnya untuk hadir? Apakah benar mediasi yang hanya dihadiri oleh advokat sebagai kuasa hukum para pihak, maka mediasi tersebut dijamin tidak akan mampu menghasilkan kesepakatan?

PERMA Membolehkan Proses Mediasi Didampingi atau Diwakili oleh Advokat

Untuk mengetahui sejauhmana peran advokat in casu “kuasa hukum” di dalam proses mediasi di pengadilan, mari kita simak butir ketentuan PERMA No. 1 Tahun 2008 di bawah ini, yang menyebutkan kedudukan ‘kuasa hukum’, yaitu antara lain:

Pasal 1 angka 8: “Para pihak adalah dua atau lebih subjek hukum yang bukan kuasa hukum yang bersengketa dan membawa sengketa mereka ke pengadilan untuk memperoleh penyelesaian.”

Pasal 1 angka 8 mengandung makna yang tegas secara a contrario bahwa advokat bukan termasuk “para pihak” karena advokat hanya sebatas wakil atau menjalankan kuasa dari para pihak. Dengan demikian, kesepakatan yang dibuat oleh para pihak dalam proses mediasi, bukan pula kesepakatan antara kuasa hukum, atau kuasa hukum dengan salah satu pihak.

Pasal 1 angka 12: “Proses mediasi tertutup adalah bahwa pertemuan-pertemuan mediasi hanya dihadiri para pihak atau kuasa hukum mereka dan mediator atau pihak lain yang diizinkan oleh para pihak serta dinamika yang terjadi dalam pertemuan tidak boleh disampaikan kepada publik terkecuali atas izin para pihak.”

Ketentuan pasal 1 angka 12 menegaskan bahwa advokat diperbolehkan mengikuti (menghadiri) proses mediasi tertutup mewakili kliennya, namun tetap terikat untuk tidak boleh menyampaikan dinamika proses mediasi kepada khalayak ramai (publik), kecuali disetujui oleh para pihak.

Pasal 7 ayat (3): “Hakim, melalui kuasa hukum atau langsung kepada para pihak, mendorong para pihak untuk berperan langsung atau aktif dalam proses mediasi.”

Kata mendorong dalam kamus besar bahasa Indonesia, di antaranya bermakna: mendesak atau memaksa supaya berbuat sesuatu. Kaitan dengan ketentuan pasal 7 ayat (3), disini difokuskan kepada hakim, agar hakim mendorong atau mendesak atau memaksa para pihak baik langsung maupun tidak langsung melalui kuasa hukumnya (advokat) untuk berperan lansung atau aktif dalam proses mediasi.

Perbedaan ayat (3) dengan ayat (4) terletak pada kata “wajib”. Dalam ayat (3), peran hakim untuk mendorong tidak disertai dengan kata “wajib”.

Pasal 7 ayat (4): “Kuasa hukum para pihak berkewajiban mendorong para pihak sendiri berperan langsung atau aktif dalam proses mediasi.”

Berbeda dengan ketentuan pasal 7 ayat (3), pada ayat (4) di atas, advokat selaku kuasa hukum memiliki peran yang sama seperti hakim, yaitu sama-sama mendorong (mendesak dan memaksa) para pihak sendiri untuk berperan langsung atau aktif dalam proses mediasi. Namun perbedaannya terletak pada kata “wajib”. Yaitu peran advokat mendorong tersebut memiliki bobot sifat “wajib”.

Makna kata “sendiri” di dalam rumusan pasal 7 ayat (4) tidak dapat ditafsirkan bahwa para pihak “wajib” mengikuti proses mediasi secara sendiri tanpa kuasa hukum (advokat). Bila dimaknai demikian, maka tentu akan bertentangan dengan ketentuan pasal 1 angka 12. Untuk itu kata “sendiri” harus dimaknai sebatas makna bahwa para pihak diharapkan terlibat secara langsung dalam proses mediasi.

Pasal 14 ayat (1): “Mediator berkewajiban menyatakan mediasi telah gagal jika salah satu pihak atau para pihak atau kuasa hukumnya telah dua kali berturut-turut tidak menghadiri pertemuan mediasi sesuai jadwal pertemuan mediasi yang telah disepakati atau telah dua kali berturut-turut tidak menghadiri pertemuan mediasi tanpa alasan setelah dipanggil secara patut.”

Pasal 16 ayat (1): “Atas persetujuan para pihak atau kuasa hukum, mediator dapat mengundang seorang atau lebih ahli dalam bidang tertentu untuk memberikan penjelasan atau pertimbangan yang dapat membantu menyelesaikan perbedaan pendapat di antara para pihak.”

Pasal 17 ayat (2): “Jika dalam proses mediasi para pihak diwakili oleh kuasa hukum, para pihak wajib menyatakan secara tertulis persetujuan atas kesepakatan yang dicapai.”

Rumusan kata “kuasa hukum” yang terdapat pada ketentuan pasal 14, 16 dan 17, kembali menguatkan kedudukan peran advokat dalam mengikuti proses mediasi, baik itu mewakili maupun mendampingi.

Sampai disini maka jelas dan terang benderang, bahwa ketentuan PERMA tidak ada satu ketentuan yang melarang atau menolak kehadiran advokat dalam proses mediasi di pengadilan, baik untuk mendampingi maupun sepenuhnya mewakili kepentingan para pihak yang menjadi kliennya. Serta tidak beralasan hukum menyatakan proses mediasi dinyatakan gagal bilamana tidak diikuti secara langsung dan sendiri oleh prinsipal para pihak.

Manfaat Proses Mediasi Diikuti oleh Advokat

Sikap dan cara pandangan pihak-pihak yang memiliki prejudice bahwa kehadiran advokat dalam proses mediasi tidak memberi manfaat bagi terciptanya kesepakatan para pihak, penulis menganggap bahwa sikap demikian tidak sepenuhnya salah. Bisa jadi ada benarnya, berdasarkan pengalaman yang ditemui oleh hakim maupun oleh mediator.

Namun menjadikan prejudice tersebut sebagai dasar untuk bersikap menjadi anti-pati 100% terhadap peran advokat dalam proses mediasi, adalah sikap yang premature. Seolah-olah sudah dijamin 100% proses mediasi yang diikuti oleh advokat tidak akan berujung pada tercapainya kesepakatan.

Adanya kemungkinan seorang berprofesi advokat untuk berorientasi pada the problem is money,’ sehingga menghendaki agar suatu masalah hukum tak kunjung selesai demi untuk kepentingan mendapatkan imbalan (honorarium) semata, sesungguhnya sudah diantisipasi di dalam Kode Etik Advokat, di antaranya yaitu:

  • Advokat dalam melakukan tugasnya tidak bertujuan semata-mata untuk memperoleh imbalan materi tetapi lebih mengutamakan tegaknya Hukum, Kebenaran dan Keadilan (pasal 3 hurup b Kode Etik Advokat);
  • Advokat dalam perkara-perkara perdata harus mengutamakan penyelesaian dengan jalan damai (pasal 4 hurup a Kode Etik Advokat);
  • Advokat tidak dibenarkan memberikan keterangan yang dapat menyesatkan klien mengenai perkara yang sedang diurusnya (pasal 4 hurup b Kode Etik Advokat).

Dengan ketentuan kode etik tersebut di atas, sudah semestinya dipedomani oleh seorang advokat yang tengah mengikuti proses mediasi. Sehingga proses mediasi yang diikutinya akan lebih berkualitas dalam menghasilkan suatu kesepakatan yang paripurna.

Prinsip-prinsip kode etik advokat tersebut di atas, sudah sepatutnya bagi dijadikan pedoman bagi semua advokat untuk mengedepankan tercapainya kesepakatan dalam penyelesaian suatu sengketa. Serta berupaya menjelaskan dan meyakinkan kepada para pihak bersengketa mengenai penting dan manfaatnya penyelesaian sengketa secara mediasi.

Akhir kata, peran advokat dalam menyelesaikan sengketa secara mediasi di pengadilan tidak dapat diabaikan dan dikesampingkan. Tak dapat dibantah, banyak sudah sengketa yang diselesaikan dalam proses mediasi yang melibatkan peran aktif advokat mendorong kliennya untuk menyelesaikan secara sengketa secara perdamaian dalam proses mediasi di pengadilan. Termasuk pada pengalaman yang penulis alami sendiri. Inilah peran advokat yang ideal dan penting dalam memainkan peranan berkontribusi terciptanya proses mediasi di Pengadilan.

Wallahu A’lam Bishawab.

————————

[1] Tata Wijayanta, Materi Presentasi: Prosedur Mediasi di Pengadilan Menurut Perma No. 1 Tahun 2008, hal.11-13.

[2] Agus Suprianto, SH., SHI, Msi, Presentasi: “Mediasi Sengketa Ekonomi Syariah”, hal.13.

 

Sumber: Kompasiana

Leave a Comment

Your email address will not be published. Required fields are marked *